Wednesday 23 October 2013

Belajar dari Lawu (Bagian 1)

“Lagi selo (senggang_red) ya Mas? Kok sempat-sempatnya, udah kerja naik Lawu?” tanya seorang pendaki lain setelah turun di pos Cemoro Kandang.
Edelweiss nya Lawu yang super banyak
Let's Go! :D
Sabtu, 21 September 2013

Sasono Bujono (ruang makan yang dikelilingi kolam) ini dipenuhi orang-orang yang menggelinding koper. Padahal baru jam 6 pagi, mereka sudah mengambil sarapan untuk mengejar penerbangan pukul 7 pagi dari bandara Adi Sumarmo. Aku pun juga begitu, mengambil tempat terdekat dengan kolam, sembari mengamati ikan koi yang memamerkan keindahan warna corak tubuhnya, sesekali kupercepat tempo mengunyahku agar tidak kesiangan bertemu kawan yang sudah sejak semalam menunggu di Terminal Tirtonadi.

Semalam, acara baru saja ditutup di Ballrom Lorin International Hotel Solo. Para peserta se-Indonesia satu persatu meninggalkan hotel entah untuk pelesir di Kota, atau pulang ke tempat kerja masing-masing.

Selasa, 17 September 2013

Room Boy Lorin Hotel terheran-heran melihat carrier 60 L yang saya panggul, sementara tamu hotel umumnya membawa koper yang digelinding. Pun dengan komentar teman-teman kantor, “ngapain bawa tenda segala?” Saya jawabnya sambil senyum-senyum, “yaaa, mungkin nanti dibutuhkan”.

Senada dengan mereka, petugas bandara pun tadi pagi terlihat mengernyitkan dahi menimbang carrier saya di antara tumpukan koper teman-teman panitia.

Jumat, 20 September 2013

Saya baru memantapkan hati akan mendaki Gunung Lawu hari Jumat pagi setelah semingguan mengurungkan niat karena padatnya jadwal acara ini. Saya memang bawa tenda, tapi niat awalnya hanya ingin menghirup udara segar dan camping ceria di antara kebun strawberry di Tawangmangu. Lalu, kenapa tiba-tiba berubah? Alasannya, karena penat, saya pikir berwisata ke Tawangmangu saja tidaklah cukup. Badan rasanya sakit semua kalau tidak disalurkan dengan pelampiasan naik gunung. Bersama seorang teman sekantor, yang belum pernah sekalipun naik gunung tapi punya semangat luar biasa, Danoyo, kami sepakat meninggalkan kenyamanan hotel bintang empat ini untuk menuju Lawu esok hari.

Jumat pagi, saya telfon teman saya yang dulu menemani mendaki Mahameru, Izhar. Ia jauh lebih bijak di atas Gunung sekalipun usianya 3 tahun lebih muda dari saya.  Kebetulan juga sudah lama kami tidak naik gunung bersama. Ia langsung berangkat Jumat malam dengan bus dari Jawa Timur dan sabtu pukul 4 pagi ia mengabarkan kalau sudah tiba di Terminal Tirtonadi, Solo.

Terminal Tawangmangu, 21 Sept 2013
Berbeda dengan Gunung lain yang pernah saya datangi, setidaknya saya mempersiapkan matang-matang logistic dan peralatannya, tapi kali ini tidak. Di perjalanan bis dari Tirtonadi ke Tawangmangu, dalam hati saya berujar, Lawu, be friendly to us, please.

Minggu, 22 September 2013

Peta jalur pendakian Gunung Lawu
Jalur Cemoro Kandang
Setelah semalaman kelaparan di dalam tenda akhirnya semburat fajar menyemangati kami untuk keluar dari Sleeping Bag dan kembali menuju puncak Hargo Dumilah yang menjadi magnet bagi puluhan pendaki lainnya. Baru bangun tidur di atas ketinggian 3000an meter membuat dinginnya terasa lebih dramatis.

Semalam saya pakai sleeping bag satu untuk berdua karena memang cuma bawa itu, dan sejatinya tenda ini pun kapasitasnya hanya untuk dua orang, tapi ya mau bagaimana lagi, daripada mati kedinginan. Semalam, di tenda yang sempit ini, saya kram berkali-kali sehingga harus bangun berkali-kali pula. Tiap kali saya bangun, pasti Izhar dan Danoyo sama-sama sedang ngelindur. Menceracau tak jelas bersahut-sahutan. Haha. Memang dalam dunia medis, ngelindur itu berpotensi besar terjadi kalau Anda sedang terlalu capai dan tidur Anda tidak benar-benar nyenyak.

Tak ada tripod, batu pun jadi
using self timer
Belakangan saya baru tahu kalau Gunung Lawu adalah Gunung tertinggi kedua di Jawa Tengah sekaligus terkenal sebagai yang terdingin di tanah Jawa. Cerita tentang hipotermia dan frostbite begitu marak di internet yang ditulis oleh para pendaki yang pernah mendaki ke sana. Untunglah kami hanya ‘sekedar’ ngelindur dan kram otot. 

Sunrise di setiap Gunung tak pernah sama. Lautan awannya pun tak pernah sama. Oleh karena itu, banyak orang-orang yang selalu rela bangun sebelum subuh meninggalkan sleeping bag yang hangat menerjang hawa dingin menuju puncak setiap Gunung untuk menikmati detik-detik sang Surya muncul dari ufuk timur.

Puluhan orang sudah mengelilingi tugu Puncak Hargo Dumilah saat itu. Bagi yang baru tiba, kebanyakan langsung sujud syukur, lantas berfoto-foto dari delapan penjuru mata angin. Kami bertiga sih tidak sujud syukur, karena puncaknya telah kami gapai kemarin malam.


Argo Dumilah at its crowd

Sunrise Show @ 3.265 mdpal
Bagi yang tidak membawa tripod, siap-siap fotonya goyang semua. Dinginnya udara ditambah angin kencang di Puncak yang terbuka bebas tanpa vegetasi membuat tangan tak pernah berhenti bergetar. Susah untuk sekedar memegang kamera dengan stabil, bahkan untuk memencet tombol shutter saja kesulitan karena jari jemari seperti mati rasa.

Kami mencari titik yang agak sepi untuk menunaikan sholat subuh di 3.265 mdpal ini. Beralaskan matras, kami tunaikan kewajiban kami sebagai hamba dari Sang Pencipta Yang Maha Agung.

Allah yang Maha Pengasih,

Yang telah mengajarkan al-Quran
Dia menciptakan manusia,
Mengajarnya pandai bicara
Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan,
dan tetumbuhan dan pepohonan, keduanya tunduk (kepada-Nya).
Dan langit telah ditinggikan-Nya dan Dia ciptakan keseimbangan,
agar kamu jangan merusak keseimbangan itu,
dan tegakkanlah keseimbangan itu dengan adil dan janganlah amu mengurangi keseimbangan itu.
Dan bumi telah dibentangkan-Nya untuk makhluk-Nya,
di dalamnya ada buah-buahan dan pohon kurma yang memiliki kelopak mayang,
dan biji-bijian yang berkulit dan bunga yang harum baunya.
Maka nikmat Tuhan-mu yang manakah yang kamu dustakan? (Q.S. Ar Rahman 1-13)



Praktis saya meneteskan air mata ketika teman saya sebagai imam membacakan surat tersebut dalam subuh kami. Maka Nikmat Tuhanmu yang manakah yang kami dustakan? Air mata atas rasa syukur, haru, takjub, bahagia, bercampur menjadi satu mengingat betapa sayangnya Ar Rahman kepada tiap hambanya. Terlebih ketika saya memutar flashback ingatan ketika kami memulai pendakian ini, kemarin… 

Cokro Srengenge
Bersambung ke sini: Belajar dari Lawu (bagian 2)

Tangerang Selatan, 13 Oktober 2013

No comments:

Post a Comment