Monday 21 November 2011

Memories of Bali (bukan judul film) ; Hari 2: Jogjakarta-Banyuwangi


Dari Bukit Bintang kami pulang ke rumah salah satu teman kami, Ahmad, yang berada di kampung Suronatan Jogja. Sepi sekali jalanan sepanjang jalan dari Gunungkidul ke Jogja (yaiyalah, kan jam 1 pagi!). Sambil melamun kami melaju di jalan, dan tiba-tiba ban belakang motor yang saya tumpangi, bocor.
Pelajaran No.3: Jangan melamun di jalanan.

Beruntung, tak jauh dari sana di perempatan PLN (atau entah namanya apa, yang jelas di seberang jalan ada kantor PLN) ada tambal ban yang buka 24 jam (nggak 24 jam juga sih, tapi kami bangunin yang punya bengkel, hehe).

Sampai rumah Ahmad, tepar dengan sedikit bumbu masuk angin (ayolah, masih belum apa-apa!). “Besok, sehat” begitu sugesti saya dalam hati.

Subuh, bangun, dan lekas bergantian mandi. Lalu tiba-tiba ada enam gelas teh hangat dan kue-kue dari tuan rumah. Terimakasih Ahmad! Jangan kapok ya. Usai berpamitan kami mencegat angkot menuju Lempuyangan. Luar biasa ramainya. Hampir pukul 7 (FYI, di tiket, tertera kereta berangkat 7.28) dan kami belum berangkat. Akhirnya, ada sebuah taxi yang lewat.

Singkat cerita, kami sampai di Lempuyangan dengan komposisi, Sinaga ((berangkat dari)Jakarta), Saya (Jakarta), Izati (Klaten), Amalia (Semarang), Bagunanto (Semarang), Ahmad (Jogja), dan Himawan (Kebumen). Masih ada lagi dua kawan kami yang belum datang dengan kereta Bengawan-nya dari Jakarta. Ternyata memang Kereta Sri Tanjung tidak akan berangkat sebelum Bengawan tiba. Oalah, tahu gini kami nggak panik-panik amat tadi.  Dio (Jakarta) dan Ryan (Jakarta) pun datang pukul 8.00 dan langsung pindah kereta. Bayangkan, sesudah 13 jam Jakarta-Lempuyangan, mereka berdua masih harus lanjut ke Banyuwangi yang memakan waktu sekitar 16 jam lagi. Saya sih belum sempat menanyakan bagaimana rasanya.

Tidak banyak hal spesial yang kami alami dari setengah perjalanan pertama Lempuyangan-Surabaya Gubeng.
Hawa panas, penumpang yang penuh sesak, dan asap rokok adalah bagian tidak menyenangkan dalam kereta seharga Rp35.000,00 ini. Namun, seusai Gubeng menuju Banyuwangi, banyak pemandangan menarik yang dapat dilihat. Mulai dari Lapindo, Gunung Raung (yang saya sangka Bromo sebelumnya), Gunung Semeru, dan hutan-hutan di sepanjang Jember dan Banyuwangi. Apalagi hawa mulai dingin. Penat mulai hilang membuat kami melakukan banyak permainan di atas kereta. Grup sebelah sibuk dengan kartu bridge, sedang grup kami dengan berbagai permainan masa kecil dulu (sebut saja namanya jempol-jempolan, subyung, dan truth or dareà yang ini masuk kategori 17+ deh ya…).

Tak terasa, pukul 23.00 WIB (setelah ini, penyebutan jam akan memakai informasi waktu Indonesia bagian mana) sudah tiba di stasiun Banyuwangi Baru. Stasiun baru yang memperpanjang rute dari Stasiun Banyuwangi Kota (Karangasem) ke tepi selat Bali. Keluar stasiun, langsung “disambut” para calo bus. Beruntung ada Sinaga yang sangat siap dengan pengalamannya dan pengetahuannya berkat buku traveler guide-nya yang tebal. Rp25.000,00 sudah termasuk tiket penyeberangan feri. Di atas feri, kami yang jarang naik kapal (dengan lebaynya) naik ke atas dek dan menikmati semilir (bukan semilir, tapi sangat kencang!) angin selat malam hari dan gemerlapnya lampu di antara dua pulau. 30 menit saja.

Sampai Gilimanuk pukul 00.30 WITA. Peringatan penting, jangan lupa bawa KTP/SIM kalau nyeberang ke Bali. Sebab, pengamanannya cukup ketat. Bagi yang tidak membawa kartu identitas, dipersilahkan putar balik. Hiii, seram amat.

No comments:

Post a Comment